Selamat Datang Bagi Para Pecinta, yang Bersedia Menumbuh-Suburkan Cinta Demi Kedamaian di Dunia Ini!

Rabu, November 20, 2013

Pintu Terlarang Bernama "Curhat"


Sebelum menikah, Nisa, sebut saja begitu, sering menjadi “terminal curhat” beberapa teman dekatnya tentang berbagai masalah yang menimpa mereka baik yang sudah menikah maupun sesama lajang. Bahkan ada yang mengalami permasalahan rumah tangga begitu berat hingga diselingkuhi suami beberapa kali. Takpernah terbayang dalam benak Nisa, kalau dia pun harus mengalami masalah serupa dalam rumah tangganya.

Tiga tahun usia pernikahannya, orang bilang ini adalah masa-masa rawan mulai munculnya riak-riak kecil dalam rumah tangga. Namun, yang dihadapi Nisa bukanlah riak kecil, tapi masalah yang maha dahsyat hingga hampir meruntuhkan mahligai rumah tangganya. Nisa menikah dengan Agung, seorang duda beranak dua yang ditinggal mati istrinya. Saat itu anak pertama suaminya masih duduk di kelas 1 SMP sedangkan anak kedua sekolah di TK. Tahun pertama dan kedua Nisa fokus mengurus kedua anak tirinya hingga rela keluar dari pekerjaannya sebagai editor sebuah penerbit. Seminggu sekali Nisa dan suami mengunjungi anak pertamanya yang tinggal di pesantren. Seiring berjalannya waktu, Alhamdulillah Nisa bisa mulai dekat dengan anak pertamanya hingga dia bisa kembali ceria sepeninggal ibu kandungnya. Suaminya kemudian memberikan tugas baru kepada Nisa untuk melakukan pendekatan dengan anak keduanya yang tinggal bersama kakak kandungnya (ipar Nisa) di kota J. Sejak ditinggal mati istrinya, Agung tidak bisa merawat anak keduanya sendiri karena dia harus bekerja dari pagi hingga petang. Karenanya dia menitipkan anaknya ini kepada kakaknya .

Nisa pun menunaikan tugas baru sebagai ibu bagi anak kedua dan harus rela meninggalkan suaminya di kota B menuju kota J, tempat anak keduanya tinggal. Meski butuh pendekatan ekstra dan kesabaran penuh akhirnya anak keduanya pun bisa dekat dengannya. Bahkan anak keduanya ini seolah tidak bisa bobo malam kalau tidak dininabobokan dulu oleh Nisa. Akhirnya, Nisa dan Agung memutuskan untuk membawa anak keduanya ini ke kota tempat tinggal mereka agar lebih fokus mengurusnya. Namun, pertentangan datang dari kakak dan orang tua Agung di kota J. Mereka tidak setuju anak yang dulu dititipkan kepada mereka diambil begitu saja karena mereka sudah terlanjur sayang. Nisa tidak banyak bicara soal ketidaksetujuan mereka atau menentang mereka dengan kata-kata. Dengan sepenuh hati dan kesabaran Nisa tetap mengurus anak keduanya di kota J hingga kakak iparnya melihat kesungguhannya dalam mengurus anak tirinya ini. Mereka pun akhirnya mengikhlaskan keponakannya ini untuk dibawa ke kota B.

Keluarga kecil mereka akhirnya kembali utuh tinggal di rumah mereka sendiri. Anak kedua yang sekolah di SDIT Alhamdulillah bisa menjadi juara menghafal Al Qur’an pada levelnya di sekolah atas bimbingan Nisa. Sebuah kebahagiaan tersendiri bagi Nisa bisa membimbing anak tirinya untuk mencintai Al Qur’an dan menghafalkannya padahal ibu-ibu lain yang notabene seorang ibu kandung banyak yang merasa sulit membimbing anaknya menghafal Al Qur’an. Setahun kemudian anak pertama mereka lulus dari pesantren dan memilih meneruskan sekolah di dekat rumah sehingga mereka benar-benar tinggal dalam satu atap sebagai keluarga yang utuh, ada Ayah-Ibu dan kedua anak mereka. Hubungan Nisa dan kedua anaknya pun semakin dekat. Mereka sudah menganggap Nisa seperti ibu kandungnya sendiri, Nisa pun menyayangi mereka seperti anak kandung sendiri.

Ketika Prahara Datang

Tidak ada sebuah rumah tangga yang dijalani tanpa ujian dari Allah Swt. Saat keluarga kecil ini seolah menikmati kebahagiaan seutuhnya selayaknya keluarga lain, ujian itu datang. Menginjak usia pernikahan ketiga, tiba-tiba Agung, suami Nisa membawa kabar yang mengoyak hatinya. Dengan berderai air mata bahkan dengan menahan sakit perut yang dideritanya sehari sebelumnya, Agung mengakui kalau dirinya sedang jatuh cinta dengan teman kerjanya di kantor cabang. Mereka menjalin komunikasi melalui email dan telepon. Agung pernah ditugaskan untuk mengisi training di kantor cabang tempat kerja perempuan itu, sebut saja namanya Laras. Awalnya Laras hanya kagum dengan Agung yang dalam pandangannya adalah seorang yang bijaksana dan suka menasehati. Kebetulan saat itu Laras sedang mengalami masalah dengan pacarnya. Dia dikhianati pacarnya padahal hubungan mereka sudah sangat dekat bahkan sudah memiliki tabungan bersama untuk rumah tangga mereka kelak. Meski tidak diceritakan secara detail oleh Agung karena hal-hal privasi yang tidak mungkin dibuka, Nisa bisa menebak kalau hubungan Laras dengan pacarnya sudah sangat jauh.

Dalam dilema, Laras yang selama ini tertutup dan tidak memiliki teman dekat yang bisa dipercaya menumpahkan curahan hatinya kepada Agung, suami Nisa, melalui email. Lama kelamaan curhat Laras disambung melalui telepon kantor. Selama dua bulanan komunikasi mereka terjalin intensif hingga Agung yang sebelumnya tidak pernah menerima curhatan dari perempuan lain kecuali istrinya merasa kasihan dan bersimpati dengan permasalahan yang menimpa Laras. Laras sering menangis di telepon yang katanya hanya bisa tertumpah saat curhat dengan Agung. Keluarga Laras bahkan tidak tahu permasalahan Laras yang sebenarnya. Agung tidak tega mendengar perempuan menangis sedangkan istrinya sendiri nyaris tidak pernah menangis di depannya. Salahnya, emosi Agung ikut terlibat dalam menyikapi curhatan Laras hingga dia sampai merasa tidak rela orang seperti Laras yang dalam pandangannya adalah perempuan baik-baik harus hidup dengan laki-laki “bejat” seperti pacarnya. Dari rasa simpati, kasihan, akhirnya muncul rasa sayang di hati Agung kepada Laras. Satu rasa yang tidak seharusnya hadir karena tidak direkat dalam ikatan suci pernikahan apalagi Agung sudah memiliki istri dan anak-anak. Perasaan Agung ternyata tidak bertepuk sebelah tangan, Laras pun menyayanginya selayaknya sayangnya seorang kekasih. Laras bahkan sudah sangat benci dengan pacarnya itu meski di depan keluarganya dia masih tetap bersikap baik dengan pacarnya.

Selama ini Agung berprinsip tidak mau pacaran. Ketika mencintai seorang wanita maka hanya ada dua pilihan baginya, menikahi perempuan itu atau memutuskan “rasa” itu sama sekali. Tidak rela melihat Laras menderita jika harus hidup dengan laki-laki yang tidak menghargai wanita seperti pacar Laras membuat Agung merasa tergerak menjadi “pahlawan penyelamat” untuk menikahi Laras. Melalui sms, Agung pun melamar Laras. Laras yang merasa sedang dalam dilema yang sangat berat merasa bebannya bertambah dengan lamaran itu karena sadar tidak mudah menikah dengan pria yang sudah beristri. Padahal menurut pengakuan Agung mereka sudah membicarakan rencana hubungan hingga ke pernikahan dan berapa banyak anak yang akan mereka memiliki kelak. Namun, kondisi psikis Laras yang memang sedang labil membuatnya semakin tertekan hingga tidak membalas sms Agung bahkan tidak mau menerima telepon darinya hingga dua harian.

Saat kondisi genting seperti itulah Agung memberanikan diri menceritakan semua perasaan hatinya yang “terlarang” itu kepada Nisa istrinya. Reaksi Nisa saat itu “datar” saja seolah tidak ada rasa sakit hati atau cemburu. Entahlah, mungkin yang ada dalam pikiran Nisa adalah bagaimana membantu suaminya sembuh dari sakit perutnya. Sejak dua hari digempur permasalahan yang menyiksa batinnya, Agung memang didera sakit perut hingga membuatnya sulit makan dan istirahat. Ketika pulang dari kantor wajahnya kuyu dan tampak sangat lelah. Namun, Nisa tahu kalau lelah yang dialami suaminya pasti bukan lelah fisik. Kalau sekadar lelah fisik biasanya Agung akan meminta Nisa memijiti kakinya. Sebentar kemudian lelahnya pun hilang. Namun, lelah yang ditampilkan wajah suaminya saat itu sangat tidak biasa. Nisa mencoba bertanya kenapa, apa karena masalah pekerjaan? Atau ada masalah dengan rekan kerja? Tapi Agung masih diam. Baru pada hari kedua saat sakit perutnya sudah mulai membaik Agung menceritakan semuanya kepada Nisa.

Nisa hanya bilang kalau dia tetap sayang sama Agung sebagai suaminya dan juga anak-anak. Hanya saja Nisa menyayangkan kenapa suaminya mudah menerima curhat dari perempuan yang bukan muhrim. Padahal, komunikasi intensif antara dua manusia lawan jenis via email dan saling bertelepon ria bisa menumbuhkan rasa suka dan sayang walaupun tidak bertemu langsung. Hal ini dialami sendiri oleh Nisa. Sebelum menikah Nisa juga pernah menjalin komunikasi dengan seorang pria di luar negeri. Saking intensifnya komunikasi sempat memunculkan rasa saling suka padahal mereka belum pernah bertemu muka. Namun, mereka tidak berjodoh hingga tidak sampai menikah. Dari sana Nisa sadar kalau “curhat” antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim lebih banyak menimbulkan efek negatif. Maka sejak menikah Nisa berkomitmen dalam diri untuk tidak akan menerima curhatan dari laki-laki mana pun selain suaminya. Padahal dulu sebelum menikah Nisa sering menerima curhatan dari teman-teman cowoknya. Namun, tidak disangka ternyata justru suaminya malah menerima curhatan dari wanita lain.

“Mama tidak menghalangi Ayah untuk menikah lagi kalau memang itu yang terbaik untuk rumah tangga kita. Mama tetap sayang sama Ayah dan anak-anak. Tapi Mama ingin keputusan itu didasarkan atas hasil istikharah, bukan emosi sesaat. Libatkan Allah dalam masalah kita. Nanti malam kita sama-sama istikharah memohon keputusan terbaik dari Allah.” Kata Nisa datar sambil menyandarkan kepalanya di dada suaminya.

Suaminya langsung memeluk Nisa erat. Seolah berterima kasih karena tidak marah atau sakit hati dengan perasaan “terlarang”-nya kepada perempuan lain itu.

Nisa tampak tegar menerima curhatan suaminya yang sedang jatuh cinta dengan perempuan lain seolah dia sedang menghadapi/menerima curhatan orang lain, seolah yang sedang diselingkuhi itu bukanlah dirinya. Apalagi Nisa memang sudah sering menerima curhatan dari teman-temannya. Entah apa yang ada dalam benak Nisa hingga mampu bersikap datar tanpa emosi apalagi marah dan menyalahkan suaminya. Mungkin karena dia sudah kenyang dengan ujian pahitnya kehidupan pada masa lalu sebelum menikah sehingga ketika menerima kepahitan hidup sekali lagi hatinya seolah “datar” saja. Yang ada dalam benaknya saat itu hanya bagaimana membantu suaminya sembuh dari sakit fisik dan beban mental yang maha berat bagi suaminya ini.
Usai mengungkapkan semua isi hatinya, Agung menyeka air matanya. Aneh, seharusnyaNisa yang nangis, bukan Agung.

“Ma, Ayah mau tidur dulu!” kata Agung menyudahi pembicaraan saat itu.

Nisa pun memberi kesempatan kepada suaminya untuk beristirahat. Tidak berapa lama suaminya pun terlelap dalam tidur seolah semua kepenatan hatinya hilang. Kini, gantian Nisa yang tidak bisa tidur.
Hingga malam larut Nisa masih sulit memejamkan mata. Hatinya dipenuhi kegundahan luar biasa. Akhirnya Nisa bangun untuk mengambil air wudhu dan mengenakan mukena. Dia tunaikan shalat istikharah mengadukan semua kegundahan hatinya kepada Sang Pencipta dirinya, yaitu Allah Swt.

Usai shalat, dengan masih mengenakan mukena, dia dekati suaminya dan mencium pipinya, “Ayah nggak solat tahajud?” Suaminya malah melingkarkan tangan Nisa ke dalam pelukannya. Nisa pun memeluk suaminya, diciumnya sekali lagi, dielusnya rambut suaminya penuh kasih sayang.

“Jam berapa, Ma? Biasanya Ayah shalat jam tiga pagi.” kata suaminya sambil mengambil HP untuk melihat jam.

Saat itu tepat pukul 03.00 dini hari. Suaminya lalu bangun dan mengambil air wudhu. Mereka berdua shalat tahajud. Mungkin ini tahajud pertama mereka yang dilakukan secara berjamaah. Nisa mengakui akhir-akhir ini jarang sekali tahajud. Dia mengakui kondisi batinnya sedang futur, ibadah sunah mulai jarang dilakukan. Mungkin karena itulah Allah mengujinya dengan masalah seperti ini agar dia kembali bersujud kepada-Nya. 

Usai shalat, Agung dan Nisa ngobrol berdua. Nisa memulai pembicaraan dengan mencoba berempati kenapa sampai lahir “rasa yang tidak seharusnya” di hati suaminya kepada perempuan lain. Semua berawal dari “curhat”. Nisa sadar bahwa perselingkuhan hati bisa menimpa siapa saja, hatta seorang ustad. Nisa menceritakan kepada Agung tentang kasus seorang ustad di Bdg, kota tempat kerja Nisa dulu sebelum menikah. Di sana ada seorang ustad yang memiliki banyak jamaah pengajian. Dia juga punya yayasan yang mengurusi masalah umat, salah satunya menampung masalah konsultasi rumah tangga. Namun, salahnya ustad tersebut menghadapi sendiri klien muslimah, tidak diserahkan kepada konsultan muslimah juga. Suatu ketika ada salah satu muslimah yang datang untuk berkonsultasi kepadanya. Entah bagaimana awalnya, akhirnya konsultasi antara ustad dan klien muslimah ini malah menimbulkan rasa saling jatuh cinta di antara mereka. Karena tidak mau terjerumus dalam dosa mereka pun menikah padahal sang ustad sudah memiliki anak dan istri. Banyak jamaahnya yang menghujat ustad tersebut. Mungkin karena tidak tahan dengan tekanan sana-sini belum lagi konon muslimah itu pun bermasalah sehingga sang ustad akhirnya menceraikan istri keduanya ini.

Semua berawal dari “curhat”. Yah, seorang ustad yang dibentengi ilmu agama kuat pun bisa terjerumus apalagi suaminya yang bukan siapa-siapa, bukan seorang ustad dan bukan lulusan pesantren. Untungnya Agung segera sadar dengan perasaannya yang salah dan segera mengakuinya di hadapan Nisa, istrinya. Menurut pengakuan Agung, “rasa terlarang” itu baru muncul seminggu sebelum dia mengakuinya di hadapan Nisa. Namun, meski belum lama tapi obrolan antara Agung-Laras sudah sampai pada rencana ke jenjang pernikahan (meski harus poligami).

Orang yang sedang jatuh cinta kadang logika berfikirnya tidak berjalan sempurna, lebih didominasi oleh emosionalnya. Karenanya Nisa mencoba membantu suaminya untuk membuka logikanya.

“Mama paham kenapa Ayah ingin menolong Laras dengan menikahinya. Karena Ayah tidak rela orang sebaik Laras menikah dengan laki-laki bejat seperti pacarnya itu kan? Tapi pertanyaannya, apakah setelah Ayah menikahinya maka semua masalah Laras pasti selesai? Atau malah bertambah? Bagaimanapun, menjalani pernikahan poligami itu tidak mudah. Terutama bagi perempuan. Dia butuh keluasan hati, ketegaran jiwa, kekuatan mental, kesabaran, dan sebagainya. Menghadapi masalahnya yang sekarang saja Laras sebegitu stresnya, apalagi nanti ketika dia dibawa ke dalam pernikahan poligami, apa nggak semakin stres dia? Menolong kan tidak harus dengan menikahinya, Ayah.” Kata Nisa menggambarkan resiko ke depan.

“Kalau Ayah memang butuh untuk menikah lagi, Mama sarankan tidak menikah dengan perempuan seperti Laras. Dia sendiri sedang galau dengan dilema masalahnya, apalagi jiwanya masih sangat labil. Kalau mau menikah lagi carilah perempuan yang paham dengan pernikahan dalam Islam, terutama tentang poligami dengan segala permasalahan di dalamnya. Bagaimanapun istri Ayah nanti adalah calon ibu bagi anak-anak Ayah, maka carilah perempuan yang benar-benar mampu mengemban peran ibu ini dengan baik. Apalagi dengan pernikahan poligami yang memang tidak mudah menjalaninya. Mama butuh wanita yang bisa menjadi patner buat Mama, bukan malah menjadi musuh.” kata Nisa menambahkan.

Agung hanya tersenyum dan memeluk Nisa erat.
“Kalau gitu Mama saja yang nyariin istri buat Ayah. Syaratnya sederhana saja, asal dia bisa menghargai Mama. “ kata Agung tampak sedikit sumringah.

“Memang Mama ikhlas kalau Ayah menikah lagi?” tanya Agung penasaran.

“Ya…ikhlas nggak ikhlas Mama harus terima kalau memang takdir Allah Swt. mengharuskan kita menjalani kehidupan poligami. Kalau Mama nggak terima sama saja Mama nggak mau nerima takdir Allah.” Jawab Nisa.

Bukan berarti Nisa ikhlas sepenuhnya menjalani hidup berpoligami, tapi dia sedang menyiapkan mentalnya untuk siap menghadapi kemungkinan itu. Bagaimanapun tidak ada orang yang tahu takdir hidupnya ke depan. Yang harus kita lakukan adalah menyiapkan mental kita untuk siap menghadapi semua takdir Allah, pahit maupun manis.

Dalam masa-masa ujian berat itu, Nisa meminta Agung untuk tidak saling berkomunikasi dulu dengan Laras karena khawatir akan semakin mengotori hati. Bagaimanapun perasaan yang terlanjur lahir di hati mereka adalah salah di mata Allah. Maka tidak ada jalan lain kecuali menghindarinya sampai ada keputusan terbaik dari Allah akan nasib hati mereka, apakah akan berlanjut hingga jenjang pernikahan atau harus berakhir. Nisa mengambil inisiatif menjadi mediasi komunikasi antara mereka bertiga; dia, Agung, dan Laras.

Agung sadar dalam kondisi seperti itu dia tidak mungkin lagi bebas berkomunikasi dengan Laras. Namun, Agung tidak mau kalau masalah ini akan semakin membuat Laras terpuruk apalagi sampai bunuh diri. Kalau sampai itu terjadi tentu Agung akan manjadi orang yang paling merasa bersalah kepada Laras. Sepertinya kekhawatiran Agung sangat berlebihan, mungkin karena besarnya rasa sayang Agung kepada Laras. Sebagai perempuan Nisa yakin Laras mampu menghadapi masalahnya dan tidak akan bertindak senekad itu. Toh Allah tidak akan menguji hamba-Nya di luar batas kemampuannya. Namun, itulah cinta hingga seorang pecinta tidak akan rela melihat orang yang dicintainya menderita.

Keesokan harinya Nisa menelepon Laras. Sebisa mungkin Nisa berusaha berbicara dengan nada datar tanpa marah sedikit pun. Nisa bilang kalau Agung sudah menceritakan semua tentang perasaan sayangnya kepada Laras. Nisa malah meminta maaf atas nama suaminya yang sudah lancang melamar Laras meski untuk tahun 2015. Padahal Agung tahu Laras sedang menghadapi dilema masalah yang berat. Agung hanya tidak mau semakin terjerumus dalam dosa (seperti orang pacaran) sehingga mengajak Laras menuju jalan yang halal di mata Allah, yaitu nikah meski harus berpoligami. Nisa memaklumi kalau Laras yang saat itu sedang menghadapi masalah butuh seorang teman curhat seperti suaminya. Suaminyalah yang salah karena membiarkan dirinya menerima curhatan dari perempuan yang bukan muhrim. Laras juga meminta maaf kalau masalahnya menjadi seperti ini. Dia mengaku kaget dengan lamaran Agung kepadanya padahal dia sedang menghadapi masalah berat. Khawatir keputusannya hanya sebatas pelarian dari masalahnya padahal dia masih muda dan memiliki masa depan yang panjang. Laras juga memohon kepada Nisa untuk menyampaikan maafnya kepada Agung. Nisa menyanggupi.

Obrolan di telepon itu serasa belum menuntaskan masalah yang ada. Nisa pun mengirimkan email kepada Laras. Dalam email sepanjang tiga halaman, Nisa sedikit mengulas dan menegaskan obrolan di telepon bahwa dia sudah memaafkan Agung dan Laras betapapun dia sudah dikhianati. Namun, Nisa meminta mereka tidak saling berkomunikasi dulu sambil istikharah memohon jalan terbaik dari Allah. Nisa juga menulis kilas balik kehidupannya pada masa lalu ketika Allah mengujinya dengan beban berat. Saat itu dia tidak memiliki sahabat yang bisa dijadikan tempat curhat kecuali buku harian dan mengadu kepada Allah lewat doa dan shalat. Tanpa bantuan teman atau orang lain, memang butuh waktu lama untuk bangkit, hampir dua tahun Nisa terus menangis setiap malam. Namun, ketika mampu keluar dari belenggu kapahitan Nisa mendapatkan semangat hidup yang permanen. Ibarat bangunan pondasinya sudah terpancang kuat sehingga ketika menghadapi goncangan lain pada masa depan bangunan itu tetap mampu berdiri kokoh.

Nisa berharap sharing-nya ini bisa membuka mata hati Laras bahwa di dunia ini bukan hanya dia yang menghadapi kepahitan dalam hidup. Selama masih ada Allah di hati kita akan tetap mampu melihat indahnya kehidupan di tengah kepahitan. Dengan demikian Laras akan tetap tegar dan mampu bersemangat dalam hidup ada atau tanpa Agung suaminya.

Email itu terkirim tanpa balasan dari Laras. Entah terbaca atau tidak oleh Laras. Agung sempat khawatir tidak ada reaksi balasan dari Laras. Agung pun mengusulkan untuk mengirimkan beberapa buku kepada Laras atas nama Nisa agar lebih bisa menetralkan kondisi saat itu. Agung meminta Nisa memberikan note yang sekiranya bisa menyemangati Laras. Kalau semua dilakukan atas nama Agung khawatir akan semakin memupuk perasaan “sayang” di antara mereka, sebuah perasaan yang tidak seharusnya hadir karena tidak terjalin dalam ikatan suci pernikahan.

Selama ini Nisa sudah membuka keran persahabatan untuk Laras demi menetralisir masalah mereka. Padahal ini sangat berat bagi Nisa. Bagaimana dia harus menjadi sahabat bagi wanita idaman lain suaminya? Dari sisi kewanitaan dia menolak, tapi dari sisi kemanusiaan Nisa merasa tidak memiliki pilihan lain kecuali menyanggupinya. Dia tahu banget bagaimana rasanya menjalani kepahitan hidup tanpa ada orang yang bisa dijadikan tempat curhat. Itu sebabnya dia rela membuat tulisan sepanjang tiga halaman demi menyemangati Laras. Namun, semakin hari perhatian dan kekhawatiran Agung kepada Laras tampak begitu besar hingga membuat Nisa cemburu.

“Sebegitu besarkah rasa cinta suamiku kepada Laras? Apakah melebihi cintanya kepadaku?” begitu batin Nisa.

Saat Agung sibuk memikirkan bagaimana menolong dan membangkitkan semangat hidup Laras, tanpa dia sadari pada saat yang sama dia sedang “menancapkan luka” di hati Nisa, istrinya. Agung menjadi sosok “malaikat penolong” bagi Laras tapi “menorehkan luka” bagi Nisa. Meski perih, tapi pengalaman kepahitan hidup pada masa lalu membuat Nisa tidak mudah menumpahkan tangis. Selama beberapa hari dia mengabaikan rasa sakit hatinya karena fokus mengurus suaminya yang sakit lalu berusaha menuntaskan permasalahan dengan Laras. Lama kelamaan tubuhnya tidak mampu lagi menyangga perihnya. Tubuhnya terasa lemas lunglai, tenaganya seperti habis diperas usai membawa beban berton-ton banyaknya. Tidak ada daya untuk melakukan apa pun, bahkan untuk shalat dhuha pagi itu. Mukenanya masih meliliti tubuhnya tapi tidak ada tenaga untuk berdiri menunaikan hajatnya. Akhirnya Nisa tiduran di kasur. Menahan sesak di dada, Nisa pun menuliskan pesan singkat ke HP suaminya.

“Sejak ujian berat menimpa rumah tangga kita, rasa sayang Mama ke Ayah tidak berkurang. Tapi jujur, rasa percaya Mama ke Ayah sudah berkurang. Kalau dulu Mama percaya 100%, sekarang entah tinggal berapa persen. Terserah Ayah mau mengembalikan kepercayaan Mama atau akan menghancurkannya.”

Rasa cemburu, khawatir, sakit hati, dan sebagainya berkecamuk dalam dada Nisa. Pikiran-pikiran negatif tentang suaminya sering menghantui benaknya dan sulit dienyahkan. Dia sulit mengambil rasa percaya untuk suaminya. “Beginikah rasanya dikhianati cinta? Aku sadar kalau aku bukan istri yang sempurna bagi suamiku, tapi apakah karena ketidaksempurnaanku ini suamiku berhak mengkhianati cintaku?” jerit batin Nisa.

Kepala Nisa terasa sangat berat hingga takkuasa menahan kantuk. Nisa pun langsung tertidur setelah meng-sms suaminya. Beberapa kali suaminya menelepon dari kantornya tapi Nisa tidak mengangkatnya. Tubuhnya masih sangat lemas, tulang-tulang tubuhnya seperti ditumbuk hingga takmampu mengangkat telepon.

Tidak disangka, empat jam kemudian suami Nisa pulang ke rumah. Padahal perjalanan dari kantor ke rumah lumayan lama, dua jam. Waktu menerima sms dari Nisa, Agung baru sampai di kantor. Begitu Nisa tidak membalas sms dan tidak mau mengangkat telepon darinya, Agung langsung memutuskan untuk pulang. Agung sempat mampir dulu ke masjid pinggir jalan untuk shalat jumat. Nisa yang sudah tertidur selama empat jam sudah mulai menemukan kekuatan tubuhnya. Dia bangun dan menemui suaminya. Agung sempat menanyakan kepadanya kenapa tidak mengangkat telepon darinya. “Nggak tahu, tubuh Mama rasanya lemas sekali.” Hanya itu jawaban dari Nisa.

Selama ini sebenarnya Nisa sudah terbentur cemburu dengan almarhumah istri Agung yang seolah masih terus kokoh tersemat di hati Agung. Agung sering menceritakan saat-saat kebersamaan dengan almarhumah istrinya. Tentang bagaimana dia mengajari istrinya mengaji alif-ba-ta, mengajari shalat, dan ilmu agama lain. Almarhumah boleh dibilang “awam” dengan Islam meski terlahir dari keluarga muslim. Semua itu seolah menjadi masa-masa terindah dalam hidup Agung. Sementara dengan Nisa hal itu tidak pernah dilakukan karena Nisa lebih mapan dari sisi ilmu agama, apalagi dia lulusan pesantren. Lalu, sekarang harus dibenturkan lagi dengan kecemburuan baru oleh hadirnya Laras yang kalau dilihat dari ilmu agama juga masih butuh bimbingan. Mungkin Agung berharap bisa kembali menikmati masa-masa membimbing ilmu agama kepada istri dengan menikahi Laras, satu hal yang tidak dia dapatkan ketika hidup bersama Nisa. Yah, ironis memang. Seharusnya, ketika memiliki istri yang berkecukupan dari sisi ilmu agama membuat suami lebih giat lagi menuntut ilmu agama sehingga bisa bahu-membahu bersama istri untuk memperbaiki ibadah, keimanan, dan ketauhidan di dalam keluarga, baik antara suami-istri maupun anak-anak. Bukan malah berpikir untuk mencari istri yang notabene ilmu agamanya berada di bawah dia.

Setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan pasti ingin memiliki posisi istimewa di hati orang yang dicintainya.  Begitu pula dengan Nisa. Dia pun ingin menjadi istimewa di hati suaminya. Namun, sepertinya itu sulit bagi Nisa. Dia merasa seolah terjepit antara perempuan di masa lalu suaminya dan perempuan yang ingin dikejar suaminya pada masa depan. Nisa seolah hanya pijakan sementara untuk mengisi kelabilan kondisi Agung sepeninggal istrinya. Setelah kondisinya kembali stabil.… entahlah… mungkin perempuan lain yang akan mengisinya. Kondisi ini sering membuat penat hatinya hingga kadang ingin lari dari rumah suaminya. Dia ingin beritikaf berhari-hari di masjid agar dapat berdialog berdua dengan Allah Swt. tanpa dibebani tugas-tugas rutin. Di sana dia bisa fokus untuk beribadah dan mengadukan segala kepenatan hatinya tanpa dilihat orang lain. Hanya berdua dengan Allah Swt. Namun, ketika teringat dengan anak-anak keinginan itu langsung ditepisnya. Siapa yang akan meninabobokan anak keduanya? Siapa yang akan menyediakan makanan untuk anak-anak? Siapa yang akan menyambut anak keduanya di rumah ketika pulang sekolah? Siapa yang akan menemani anak-anak sebelum ayahnya pulang?  

Sebelum menikah Nisa tidak mau pacaran dan sengaja mengosongkan hatinya untuk memberikan tempat itu kepada seorang pria yang benar-benar sah menjadi suaminya kelak. Akhirnya Agung datang menjadi sosok suami baginya. Nisa pun bertekad hanya akan memberikan cintanya 100% kepada suaminya ini, sosok yang dinikahi atas nama Allah. Apalagi Agung adalah tipe suami yang diinginkannya, baik, shalih, cerdas, tidak gengsi untuk membantu pekerjaan rumah dari mulai mencuci baju hingga mencuci piring tanpa diminta. Saking cintanya kepada suami, Nisa bahkan pernah merasa seolah tidak ada yang lebih berharga di dunia ini kecuali suaminya.

Namun, mungkin Allah yang Maha Pencemburu tidak rela kalau hamba-Nya terlalu mencintai makhluk-Nya dibanding Dia. Karena itu Allah memberikan ujian perselingkuhan hati suaminya. Satu hal yang lebih menyakitkan bahwa selama ini Nisa sangat menjaga pergaulan dan dirinya agar tidak disentuh oleh laki-laki mana pun kecuali suaminya. Namun, pria yang dicintainya 100% ini ternyata lebih memilih mencintai wanita yang rela dirinya dijamah oleh laki-laki lain yang belum halal baginya. Seolah dirinya tidak lebih berharga dari perempuan seperti itu.

Selama proses istikharah, meski perih, Nisa tidak pernah menumpahkan setetes air matanya sekali pun di hadapan suaminya. Dia hanya menumpahkan semua kegundahan hatinya kepada Allah lewat sujud-sujud dalam shalat di sudut kamarnya. Di hadapan Penciptanya Nisa lebih mudah menumpahkan tangis dan kepedihan hatinya.

“Ya Allah, jadikan hamba istri terbaik bagi suami hamba,” pinta Nisa dalam doanya kepada Allah Swt.

Keesokan harinya Agung memberi kabar kalau hubungannya dengan Laras sudah berakhir. Laras sudah kembali ke pacarnya dan mereka akan lamaran akhir tahun ini. Legakah hati Nisa? Belum sepenuhnya. Laras memang sudah memutuskan untuk kembali ke pacarnya tapi entahlah dengan hati Agung. Apakah dia mampu mengenyahkan rasa sayangnya kepada Laras atau tidak? Yang pasti keputusan Laras ini mengecewakan Agung dan membuatnya sangat terpukul.

“Ayah sendiri nggak habis pikir kenapa bisa terpedaya oleh anak yang usianya jauh di bawah Ayah. Seolah dia anggap apa Ayah ini? Hanya pelariannya saat dia terpuruk dengan pacarnya? Begitu dia sudah mampu memaafkan pacarnya dia pun kembali kepadanya.” Perih Agung mengadu di hadapan Nisa.

“Hm…” Nisa hanya menarik nafas antara lega dan prihatin.

Lega akhirnya pikiran suaminya terbuka kalau Laras bukan yang terbaik untuknya. Prihatin melihat suaminya yang terluka sedemikian hebat hingga membuatnya terkuras hati, pikiran, bahkan tenaganya hanya memikirkan Laras.

Nisa sadar ujian ini hadir karena Allah ingin mengingatkan dirinya yang telah lalai kepada-Nya, telah salah mengarahkan perasaan cintanya. Dalam keheningan, Nisa mengadu kepada Allah Swt.

“Ya Allah, ampuni hamba yang telah salah mengarahkan rasa cinta ini. Seharusnya hanya kepada Engkaulah hamba serahkan semua cinta ini. Bukan kepada makhluk-Mu sekalipun dia halal untuk hamba cintai. Engkaulah Zat yang tidak akan mengecewakan hamba-hamba-Mu yang berserah diri dan menyerahkan cintanya kepada-Mu. Sementara cinta kepada yang lain hanya akan menyematkan luka pada akhirnya. Ampuni hamba, ya Allah.”
 ***

Kisah nyata ini saya paparkan atas izin Nisa dan Agung dengan harapan semoga bisa menjadi ibrah bagi pembaca semua agar lebih berhati-hati menjaga “hati pasangan” kita. Jangan sampai hatinya terluka karena pengkhianatan cinta kita. Sekali pasangan kita merasa dikhianati selamanya luka itu akan terus tertanam di hatinya. Kalaupun pasangan kita mampu memaafkan, luka itu akan terus menganga. Seperti paku yang kau tancapkan di dinding, kalaupun kau cabut pakunya pasti bekas tusukannya akan tetap tampak melukai dinding.

Karenanya, berhati-hatilah, jangan sampai membuka pintu yang akan menjerumuskan kita pada ruang perselingkuhan. Salah satunya saling curhat antara dua insan berlainan jenis yang bukan muhrim. Jangan sampai kita rela mati-matian mengejar “cinta yang belum pasti” dengan mengabaikan cinta yang pasti sudah menjadi milik kita. Bisa-bisa kita akan kehilangan keduanya. Naudzubillahi min dzalik. @